Lompat ke isi utama

Berita

Pemilu dalam (Satu) Genggaman

Seiring masa pandemi, pengguna internet di negara kita melonjak. HootSuite tahun ini merilis, pengguna internet di Indonesia tembus 200 juta atau 73 persen dari total penduduk. Sebagian besarnya (96 persen) mengakses internet menggunakan ponsel. Rata-rata penggunanya berusia 16-64 tahun dan menghabiskan waktu 5 jam per hari. Sementara untuk yang suka mengakses media sosial, jumlahnya mencapai 170 juta. Rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengakses media sosial 3 jam per hari.

Jumlah pengguna internet hampir sama dengan jumlah pemilih dalam Pemilu 2019, yaitu 190 juta. Jika memproyeksi pengguna internet yang terus naik hingga 2024, maka hampir bisa dipastikan, seluruh pemilih Pemilu 2024 dapat mengakses informasi terkait kepemiluan menggunakan ponselnya masing-masing. Ini potensi besar untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita mendatang.

Pengalaman Buruk

Tetapi, sejarah media sosial kita dalam pelaksanaan pemilu tidak sepenuhnya baik. Dimulai dengan Pemilu 2014 saat media sosial mulai melambung, melewati peristiwa Pilkada Jakarta 2017 hingga Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019.

Perbincangan media sosial dalam peristiwa pemilu adalah perbincangan saling menjatuhkan. Pengguna media sosial, yang juga memiliki hak pilih, masing-masing memiliki kecenderungan mendukung calon tertentu, atau tidak mendukung calon tertentu. Mendukung dan tidak mendukung inilah yang menjadi penyebab utama dalam penyebaran konten di media sosial.

Jika pemilih mendukung calon tertentu, lalu menemukan konten dengan kebencian atau hoaks yang menjatuhkan calon lain, maka pemilih tersebut cenderung untuk menyebarkan kembali. Meskipun dalam rangka untuk melakukan konfirmasi benar salahnya, tetapi konten tersebut menyebar ke sesama. Dan, begitu seterusnya.

Proses inilah yang tidak jarang menimbulkan pertengkaran (social media war). Masing-masing pendukung lantas memunculkan konten-konten yang saling menegasikan satu sama lain. Sehingga yang kemudian terjadi adalah perbincangan saling menjatuhkan. Repotnya, ini kemudian menyebar, menjadi konsumsi publik dan menjadi trending topic.

Literasi Pemilu

Tidak ada cara lain untuk menghentikan situasi ini kecuali dengan meningkatkan informasi dan pemahaman tentang apa yang diatur dalam ketentuan pemilu. Apa yang boleh dan apa yang dilarang. Hak menyatakan diri untuk mendukung dan berpartisipasi dalam politik tetap dengan menghormati undang-undang dan menghindari larangan.

Literasi pemilu adalah kemampuan masyarakat pemilih untuk mendefinisikan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa, dan mengapa mereka harus memilih. Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar partai politik dan calon sebagai perwakilan aspirasi.

Literasi pemilu dimulai dengan penyelenggara pemilu yang memproduksi informasi pemilu sebanyak-banyaknya. Menyusun materi-materi sosialisasi pemilu dan pengawasan partisipatif yang variatif. Melakukan penyebaran dengan banyak bentuk dan metode yang sesuai dengan latar belakang pemilih. Memperbanyak pertemuan baik langsung maupun memanfaatkan layanan virtual. Mengajak semakin banyak pihak untuk terlibat membantu dan menggerakkan komunitasnya.

Hal yang tidak kalah penting dalam membatasi penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong adalah internalisasi larangan pemilu. Bahwa seseorang tidak melanggar ketentuan pemilu tidak hanya karena tindakan itu dilarang dan akan dijerat hukum, tetapi juga dapat merugikan kualitas pemilu secara keseluruhan. Pelanggaran akan dibalas dan diikuti dengan pelanggaran lain. Menyebarkan berita bohong atau ujaran kebencian adalah fitnah yang dampaknya lebih berat dari pembunuhan.

Internalisasi ini penting karena dalam dunia media sosial, menghukum pelaku masih belum kuat formula penegakannya. Penyebaran yang mahacepat membutuhkan penegakan hukum yang superkilat. Oleh karena itu, internalisasi sangat penting untuk menguatkan aspek pencegahan terhadap potensi pelanggaran media sosial. Sekuat-kuatnya pemilih mendukung calon tertentu, dia tetap berpegang teguh pada nilai demokrasi yaitu mewujudkan pemilu yang suci tanpa fitnah sana tuduh sini.

Bahkan apabila pemilih memiliki daya partisipasi yang tinggi, ketika menerima konten ujaran kebencian atau pemberitaan bohong, tidak hanya menghentikan pada dirinya sendiri, tetapi juga segera melaporkan ke pihak yang berwenang, entah pengawas pemilu ataupun kepolisian.

Literasi Digital

Selain memiliki pemahaman yang paripurna terhadap informasi pemilu, yang tidak kalah penting adalah literasi terhadap dunia digital itu sendiri. Pemilih bisa saja sangat memahami dunia kepemiluan tetapi gagap secara teknologi. Dibutuhkan pengetahuan yang memadai terkait dengan teknologi, tak terkecuali teknologi informasi.

Literasi digital adalah pengetahuan serta ketrampilan pemilih dalam memanfaatkan media digital untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkan secara bijak dan cerdas sesuai dengan kepentingannya saat berpartisipasi dalam proses kepemiluan.

Literasi digital digambarkan sebagai pemilih yang melek informasi dan dapat mengaplikasikan sumber informasi terhadap aktivitasnya. Mereka terampil mencari, memanfaatkan, dan mengevaluasi informasi yang terjadi dalam setiap tahapan pemilu. Selain memiliki pengetahuan mana konten yang positif mana yang negatif, pemilih juga mengetahui fasilitas dalam perangkatnya untuk mendapatkan pengetahuan kepemiluan yang kuat dan menciptakan kreativitas serta menyebarkan informasi kepemiluan tersebut.

Kemampuan inilah yang menjadi tantangan kita ke depan. Sebagian besar penyelenggara pemilu di tingkat bawah, dengan syarat umur tertentu, pada akhirnya masih harus berupaya keras untuk memahami dan mengerti tentang penggunaan teknologi digital. Demikian juga sebagian besar para pemilih kita. Meskipun memiliki perangkat komunikasi yang canggih, tidak seluruhnya bisa memanfaatkan secara maksimal. Pengetahuan tentang fasilitas yang ada di perangkatnya masing-masing masih perlu ditingkatkan kembali.

Dua Syarat

Potensi mempermudah informasi pemilu hanya dengan satu genggaman sangat mungkin dilakukan. Hanya dengan menggunakan jari, kita bisa mendapatkan segala hal yang kita butuhkan. Untuk menuju ke sana dibutuhkan dua syarat; pertama; pengembangan aplikasi super (superapps).

Penyelenggara pemilu sejak sekarang mengembangkan aplikasi yang mengintegrasikan semua aplikasi kepemiluan di setiap tahapan. Selain mengintegrasikan semua fitur, aplikasi super juga menfasilitasi partisipasi masyarakat secara real time, terkoneksi dengan media sosial dan sudah pasti harus ramah terhadap pengguna termasuk bagi penyandang disabilitas.

Jika kita memperhatikan aplikasi yang ada di penyelenggara pemilu, baik yang dikembangkan oleh KPU maupun Bawaslu, keduanya masih terpisah-pisah. Belum dalam satu aplikasi super yang integratif. Misalnya di KPU ada Sistem Informasi Penghitungan (Situng), Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), dan Sistem Informasi Verifikasi Parpol (Sipol). Sementara di Bawaslu ada Sistem Pengawasan Pemilu (Siwaslu), Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS), Sistem Pemantauan Pemilu (Gowaslu), Sistem Informasi Pengawasan Partisipatif (SIGAB) dan lain-lain.

Pengembangan aplikasi super dimulai dari mengintegrasikan semua aplikasi tersebut hanya dengan sekali klik saja. Ibaratnya kita masuk rumah, kemudian di dalam rumah tersebut kita bisa menikmati sajian-sajian yang lengkap tanpa perlu pamit keluar menuju ke bangunan lainnya. Seluruh informasi pemilih dan pengawasan partisipatif ada di dalam rumah tersebut.

Kedua, produksi konten informasi pemilih dan pengawasan partisipatif. Sebanyak mungkin penyelenggara pemilu membuat dan mengembangkan materi tentang informasi pemilih, pendidikan pemilu, dan pengawasan partisipatif.

Dalam jumlah yang sangat banyak, KPU dan Bawaslu wajib memproduksi konten setiap waktu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melakukan partisipasi. Hal ini penting karena memenuhi konten sekaligus untuk mengimbangi perilaku negatif di media sosial yang kadangkala lebih disukai oleh warganet. Memperbanyak konten di media sosial juga untuk memenuhi algoritma dalam media pencarian.

Seluruh konten informasi pemilu dan pengawasan partisipatif juga secara real time berada di timeline aplikasi yang tertanam di perangkat pengguna. Pemilih pada akhirnya menerima informasi dari sumber langsungnya secara akurat dan tepat. Jika ada pemberitaan yang mengandung ujaran kebencian atau berita bohong, maka aplikasi ini menjadi rujukan konfirmasi apakah informasi tersebut benar atau tidak. Tanpa diminta, aplikasi secara cepat mengirimkan notifikasi kepada pengguna terkait kebenaran sebuah informasi, sehingga pemilih mengetahui secara cepat sebelum menyebar di sarana komunikasi lainnya.

Dengan dua syarat itu, barulah kita bisa menikmati Pemilu 2024 hanya dalam satu genggaman. Seluruh informasi kepemiluan bisa kita akses dengan satu kali sentuhan. Asalkan kita siapkan dari sekarang.

Masykurudin Hafidz pemerhati pemilu dan demokrasi, founder CM Management

(Sumber berita : detik.com)


Tag
BERITA